Sabtu, 13 April 2013

PRIBUMI DAN NON PRIBUMI

Siapa yang menjadi warganegara dalam Pasal 26 UUD 1945?
dalam Undang Undang Dasar 1945 pasal 26 menyatakan tentang siapa yang menjadi warga negara. Pasal ini terdiri dari tiga pasal:
(1) Yang menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara.
(2) Penduduk ialah warga negara Indonesia dan orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia.
(3) Hal-hal mengenai warga negara dan penduduk diatur dengan undang-undang.

Pribumi Dan Non-Pribumi

Dari KBBI, pribumi adalah penghuni asli, orang yang berasal dari tempat yang bersangkutan. Sedangkan non-pribumi berarti yang bukan pribumi atau penduduk yang bukan penduduk asli suatu negara. Dari makna tersebut, pribumi berarti penduduk yang asli (lahir, tumbuh, dan berkembang) berasal dari tempat negara tersebut berada. Jadi, anak dari orang tua yang lahir dan berkembang di Indonesia adalah orang pribumi, meskipun sang kakek-nenek adalah orang asing.
Namun pendapat yang beredar luas di Indonesia mengenai istilah pribumi dan non-pribumi adalah pribumi didefinisikan sebagai penduduk Indonesia yang berasal dari suku-suku asli (mayoritas) di Indonesia. Sehingga, penduduk Indonesia keturunan Tionghoa, India, ekspatriat asing (umumnya kulit putih), maupun campuran sering dikelompokkan sebagai non-pribumi meski telah beberapa generasi dilahirkan di Indonesia. Pendapat seperti itu karena sentimen masyarakat luas yang cenderung mengklasifikasikan penduduk Indonesia berdasarkan warna kulit mereka.
Selain warna kulit, sebagian besar masyarakat mendefinisikan sendiri (melalui informasi luar) berdasarkan budaya dan agama. Sehingga jika penduduk Indonesia keturunan Tionghoa dianggap sebagai non pribumi, maka penduduk Indonesia keturunan Arab (bukan dari suku asli) dianggap sebagai pribumi.
Golongan pribumi dan non-pribumi muncul sebagai akibat adanya perbedaan mendasar (diskriminasi) terutama dalam perlakuan yang berbeda oleh rezim yang sedang berkuasa. Ini hanya terjadi jika rezim yang berkuasa adalah pemerintahan otoriter, penjajah dan kroninya ataupun nasionalisme yang sempit. Contoh, di zaman penjajahan Belanda, Belanda memperlakukan orang di Indonesia secara berbeda didasari oleh etnik/keturunan. Mereka yang berketurunan Belanda akan mendapat pelayanan kelas wahid, sedangkan golongan pengusaha/pedagang mendapat kelas kedua, sedangkan masyarakat umum (penduduk asli) diperlakukan sebagai kelas rendah (“kasta sudra”).
Setelah merdeka, para pejuang kemerdekaan kita (Bung Karno, Hatta, Syahrir, dll) berusaha menghapuskan diskriminasi tersebut. Para founding father Bangsa Indonesia menyadari bahwa selama adanya diskriminasi antar golongan rakyat, maka persatuan negara ini menjadi rentan, mudah diobok-obok oleh kepentingan neo-imperialisme. Bung Karno telah meneliti hal tersebut melalui tulisan beliau di majalah “Suluh Indonesia” yang diterbitkan tahun 1926.  Ia berpendapat bahwa untuk memperjuangkan kemerdekaan bangsa dan membangun bangsa yang kuat dibutuhkan semua elemen/golongan Untuk itu  beliau mengajukan untuk menyatukan kekuatan dari golongan Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme sebagai kekuatan superpower. Hal inilah yang ditakuti oleh Amerika dan sekutunya serta para pemberontak (penghianat, separatis) di negeri ini dengan berbagai alibi.
Setelah pemerintahan Bung Karno direbut oleh kekuatan liberalis-kapitalis melalui Jenderal yang berkuasa dengan tangan besi, Pak Harto, maka konotasi pribumi dan non-pribumi kembali “terpelihara subur”. Agenda pembangunan makro yang direntenir oleh IMF dan Bank Dunia membutuhkan golongan istimewa (haruslah minoritas) serta mengabaikan golongan mayoritas. Maka perjalanan bangsa setelahnya menjadi pincang yang luar biasa. Segelintir golongan memperkaya diri yang luar biasa, sedangkan golongan terbesar harus bekerja keras dengan kesejahteraan pas-pasan. Indonesia yang kaya raya dengan sumber daya alam baik di darat maupun laut hanyalah dirasakan oleh golongan penguasan dan “peliharaan” penguasa. Rakyat jelata hanya menerima ampas kekayaan alam Indonesia. Semua sari kekayaan di”sedot’ oleh perusahaan asing dan segelintir penghianat bangsa.
Inilah mengapa,  diera orde baru, konflik horizontal antara penduduk miskin (disebut  dan dilabeli sebagai pribumi) dengan si kaya (umumnya dilabeli sebagai non pribumi) berkembang dan namun erpendam. Kebencian diskriminasi ini akhirnya pecah di tahun 1998. Namun sangat disayangkan, hanya segelintir kelompok si kaya – “non-pribumi” yang kena getahnya. Massa kepalang berpikiran semua orang keturunan adalah non-pribumi, sehingga gerakan mereka ibarat “menembak burung di angkasa raya, namun sapi di sawah yang mati”. Burung (penguasa, penghianat, si-kaya) masih beterbangan di angkasa Indonesia, Singapura, dan Amerika.  Hingga saat ini, pemerintah hanya dapat menonton “burung-burung” tersebut beterbangan bebas……Yang tewas adalah rakyat miskin dan jelata.
Golongan pribumi dan non-pribumi muncul sebagai akibat adanya perbedaan mendasar (diskriminasi) terutama dalam perlakuan yang berbeda oleh rezim yang sedang berkuasa. Ini hanya terjadi jika rezim yang berkuasa adalah pemerintahan otoriter, penjajah dan kroninya ataupun nasionalisme yang sempit. Contoh, di zaman penjajahan Belanda, Belanda memperlakukan orang di Indonesia secara berbeda didasari oleh etnik/keturunan. Mereka yang berketurunan Belanda akan mendapat pelayanan kelas wahid, sedangkan golongan pengusaha/pedagang mendapat kelas kedua, sedangkan masyarakat umum (penduduk asli) diperlakukan sebagai kelas rendah (“kasta sudra”).
Setelah merdeka, para pejuang kemerdekaan kita (Bung Karno, Hatta, Syahrir, dll) berusaha menghapuskan diskriminasi tersebut. Para founding father Bangsa Indonesia menyadari bahwa selama adanya diskriminasi antar golongan rakyat, maka persatuan negara ini menjadi rentan, mudah diobok-obok oleh kepentingan neo-imperialisme. Bung Karno telah meneliti hal tersebut melalui tulisan beliau di majalah “Suluh Indonesia” yang diterbitkan tahun 1926.  Ia berpendapat bahwa untuk memperjuangkan kemerdekaan bangsa dan membangun bangsa yang kuat dibutuhkan semua elemen/golongan Untuk itu  beliau mengajukan untuk menyatukan kekuatan dari golongan Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme sebagai kekuatan superpower. Hal inilah yang ditakuti oleh Amerika dan sekutunya serta para pemberontak (penghianat, separatis) di negeri ini dengan berbagai alibi.
Setelah pemerintahan Bung Karno direbut oleh kekuatan liberalis-kapitalis melalui Jenderal yang berkuasa dengan tangan besi, Pak Harto, maka konotasi pribumi dan non-pribumi kembali “terpelihara subur”. Agenda pembangunan makro yang direntenir oleh IMF dan Bank Dunia membutuhkan golongan istimewa (haruslah minoritas) serta mengabaikan golongan mayoritas. Maka perjalanan bangsa setelahnya menjadi pincang yang luar biasa. Segelintir golongan memperkaya diri yang luar biasa, sedangkan golongan terbesar harus bekerja keras dengan kesejahteraan pas-pasan. Indonesia yang kaya raya dengan sumber daya alam baik di darat maupun laut hanyalah dirasakan oleh golongan penguasan dan “peliharaan” penguasa. Rakyat jelata hanya menerima ampas kekayaan alam Indonesia. Semua sari kekayaan di”sedot’ oleh perusahaan asing dan segelintir penghianat bangsa.
Inilah mengapa,  diera orde baru, konflik horizontal antara penduduk miskin (disebut  dan dilabeli sebagai pribumi) dengan si kaya (umumnya dilabeli sebagai non pribumi) berkembang dan namun erpendam. Kebencian diskriminasi ini akhirnya pecah di tahun 1998. Namun sangat disayangkan, hanya segelintir kelompok si kaya – “non-pribumi” yang kena getahnya. Massa kepalang berpikiran semua orang keturunan adalah non-pribumi, sehingga gerakan mereka ibarat “menembak burung di angkasa raya, namun sapi di sawah yang mati”. Burung (penguasa, penghianat, si-kaya) masih beterbangan di angkasa Indonesia, Singapura, dan Amerika.  Hingga saat ini, pemerintah hanya dapat menonton “burung-burung” tersebut beterbangan bebas……Yang tewas adalah rakyat miskin dan jelata.
Sebagai warga negara Indonesia, kita memiliki hak dan kewajiban membangun bangsa ini. Kita wajib menyadarkan sesama kita – bangsa kita bahwa tantangan terbesar yang sedang kita hadapi bukanlah etnis, suku,warna kulit ataupun agama. Bukan juga perbedaan pribumi dan non-pribumi. Tapi hal yang terbesar adalah ketidakadilan, pemiskinan, lunturnya nasionalisme membangun bangsa, dan ancaman hegomoni asing dalam bentuk ekonomi, politik, pertahanan dan multi nasional company. Perjuangan kita adalah untuk mewujudkan sistem pemerintah yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Karena istilah pribumi dan non-pribumi diciptakan oleh penjajah dan penguasa yang kejam, sudah saatnya kita harus meninggalkan istilah tersebut. Kekuatan rakyat harus menciptakan sendiri istilah yang baru, yakni “patriot” dan “penghianat”. Seorang patriot adalah yang memperjuangkan negara dan tanah airnya demi kesejahteraan dan kemandirian bangsa. Untuk itu kita dukung perjuangan para patriot tersebut saat ini. Sedangkan golongan kedua adalah penghianat, mereka yang merusak bangsa kita demi kepentingan pribadi ataupun golongan dengan menghancurkan kepentingan bangsa dan negara. Mereka yang mengobral aset bangsa, kebijakan pro-konglomerasi, dan memakan uang rakyat serta membangun dinasti keluarga di pemerintahan, legislatif maupun penegak hukum. Kita perlu memata-matai tindak tanduk mereka, dan memperjuangkan hukum untuk mengadili para penghianat tersebut.
Tentunya gerakan reformasi rakyat untuk melawan penghianat dan penjajah baru  ini bukanlah dengan revolusi berdarah,  tapi dapat dilakukan dengan reformasi rakyat terutama dari pemimpin pemerintah, penegak hukum, serta mereformasi badan legislatif yang masih lemah. Dan tidak kalah penting adalah sistem edukasi di lembaga pendidikan.  Untuk itu, diharapkan para tokoh bangsa turut mengawasi para penguasa di negeri ini, serta edukasi masyarakat untuk memilih pemimpin yang patriot, bukan pemimpin sekadar populer.
Setelah era reformasi, beberapa tokoh bangsa Indonesia berusaha mengangkat kembali kekuatan persatuan dengan menghilangkan diskriminasi perusak bangsa. Reformasi birokrasi yang menghasilkan sedikit perubahan dalam mengurangi praktik pemerintahan KKN yang sarat dengan bau kekeluargaan, etnis, dan agama.  Maka disusunlah UU Kewarganegaran serta menghilangkan secara hukum diskriminasi bagi etnis Tionghoa dan etnis minoritas di era Gusdur.
Setelah berlakunya UU 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, maka setiap manusia yang lahir di Indonesia dianggap warga negara Indonesia tanpa ada memandang embel-embel pribumi atau non-pribumi yang melekat karena perbedaan latar belakang etnis. Yang diberlakukan saat ini adalah warga negara.
Ada beberapa kriteria Warga Negara Indonesia (WNI) dalam UU 12 tahun 2006 (diambil sebagian) adalah:
  • Seorang yang lahir dari perkawinan yang  sah dari  ayah WNI dan Ibu WNI, ayah WNI  dan ibu WNA, atau ayah WNA dan ibu WNI.
  • anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia yang pada waktu lahir tidak jelas status kewarganegaraan ayah dan ibunya
  • Orang  asing  yang  telah  berjasa  kepada  negara  Republik  Indonesia  atau  dengan  alasan  kepentingan  negara  (diberikan oleh  Presiden  dan pertimbangan  DPR RI)
Menjawab pertanyaan:
  • Apakah ada di Indonesia penduduk asli ? kalau ada dimana domisilinya ?
Jawab:
TIDAK ADA
Karena,yang berhak mengklaim dirinya sebagai “penduduk asli Indonesia” adalah kaum Negroid, atau Austroloid, yang berkulit hitam. Manusia Indonesia purba membawa kebudayaan batu tua atau palaeolitikum yang masih hidup secara nomaden atau berpindah dengan mata pencaharian berburu binatang dan meramu. Wilayah Nusantara kemudian kedatangan bangsa Melanesoide yang berasal dari teluk Tonkin, tepatnya dari Bacson-Hoabinh. Dari artefak-artefak yang ditemukan di tempat asalnya menunjukan bahwa induk bangsa ini berkulit hitam berbadan kecil dan termasuk type Veddoid-Austrolaid.
Bangsa Melanesoide dengan kebudayaan mesolitikum yang sudah mulai hidup menetap dalam kelompok, sudah mengenal api, meramu dan berburu binatang.Teknologi pertanian juga sudah mereka genggam sekalipun mereka belum dapat menjaga agar satu bidang tanah dapat ditanami berkali-kali. Cara bertani mereka masih dengan sistem perladangan. Dengan demikian, mereka harus berpindah ketika lahan yang lama tidak bisa ditanami lagi atau karena habisnya makanan ternak. Gaya hidup ini dinamakan semi nomaden. Dalam setiap perpindahan manusia beserta kebudayaan yang datang ke Nusantara, selalu dilakukan oleh bangsa yang tingkat peradabannya lebih tinggi dari bangsa yang datang sebelumnya.
Dari semua gelombang pendatang dapat dilihat bahwa mereka adalah bangsa-bangsa yang mulai bahkan telah menetap. Jika kehidupannya mereka masih berpindah, maka perpindahan bukanlah sesuatu hal yang aneh. Namun dalam kehidupan yang telah menetap, pilihan untuk meninggalkan daerah asal bukan tanpa alasan yang kuat. Ketika kehidupan mulai menetap maka yang pertama dan yang paling dibutuhkan adalah tanah sebagai media untuk tetap hidup. Mereka sangat membutuhkan tanah yang luas karena teknologi pertaniannya masih rendah. Mereka belum sanggup menjaga, apalagi meningkatkan, kesuburan tanah. Mereka membutuhkan sistem pertanian yang ekstensif, dan perpindahan untuk penguasaan lahan-lahan baru setiap jangka waktu tertentu. Sebelum didatangi bangsa-bangsa pengembara dari luar, tanah di Nusantara belum menjadi kepemilikan siapapun.
Sekitar tahun 2000 SM, bangsa Melanesoide yang akhirnya menetap di Nusantara kedatangan pula bangsa yang kebudayaannya lebih tinggi yang berasal dari rumpun Melayu Austronesia yakni bangsa Melayu Tua atau Proto Melayu, suatu ras mongoloid yang berasal dari daerah Yunan, dekat lembah sungai Yang Tze, Cina Selatan.
Pada gelombang migrasi kedua dari Yunan di tahun 2000-300 SM, datanglah orang-orang Melayu Tua yang telah bercampur dengan bangsa Aria di daratan Yunan. Mereka disebut orang Melayu Muda atau Deutero Melayu dengan kebudayaan perunggunya. Kebudayaan ini lebih tinggi lagi dari kebudayaan Batu Muda yang telah ada karena telah mengenal logam sebagai alat perkakas hidup dan alat produksi. Kedatangan bangsa Melayu Muda mengakibatkan bangsa Melayu Tua yang tadinya hidup di sekitar aliran sungai dan pantai terdesak pula ke pedalaman karena kebudayaannya kalah maju dari bangsa Melayu Muda dan kebudayaannya tidak banyak berubah. Sisa-sisa keturunan bangsa melayu tua banyak ditemukan di daerah pedalaman seperti suku Dayak, Toraja, orang Nias, batak pedalaman, Orang Kubu dan orang Sasak. Dengan menguasai tanah, Bangsa Melayu Muda dapat berkembang dengan pesat kebudayaannya bahkan menjadi penyumbang terbesar untuk cikal-bakal bangsa Indonesia sekarang.
Dari seluruh pendatang yang pindah dalam kurun waktu ribuan tahun tersebut tidak seluruhnya menetap di Nusantara. Ada juga yang kembali bergerak ke arah Cina Selatan dan kemudian kembali ke kampung halaman dengan membawa kebudayaan setempat atau kembali ke Nusantara. Dalam kedatangan-kedatangan tersebut penduduk yang lebih tua menyerap bahasa dan adat para imigran. Jarang terjadi pemusnahan dan pengusiran bahkan tidak ada penggantian penduduk secara besar-besaran. Percampuran-percampuran inilah yang menjadi cikal bakal Nusantara yang telah menjadi titik pertemuan dari ras kuning (mongoloid) yang bermigrasi ke selatan dari Yunan, ras hitam yang dimiliki oleh bangsa Melanesoide dan Ceylon dan ras putih anak benua India.
Sehingga tidak ada penduduk atau ras asli wilayah Nusantara kecuali para manusia purba yang ditemukan fosil-fosilnya. Kalaupun memang ada penduduk asli Indonesia maka ia terdesak terus oleh pendatang-pendatang boyongan sehingga secara historis-etnologis terpaksa punah atau dipunahkan dalam arti sesungguhnya atau kehilangan ciri-ciri kebudayaannya dan terlebur di dalam masyarakat baru. Semua adalah bangsa-bangsa pendatang.
  •  Kenapa timbul isu istilah pribumi dan non pribumi ?
Jawab:
Isu pribumi dan non pribumi hanyalah hasil dari perlakuan diskriminatif pada masa penjajahan dahulu. Sebagai mahasiswa dan warga negara Indonesia, kita memiliki hak dan kewajiban membangun bangsa ini. Kita harus kembali berpedoman pada UUD 1945 dan UU 12 tahun 2006 mengenai dasar dasar kriteria warga negara Indonesia. Apabila kita sudah mengakui sebagai sesama WNI, kita sudah tidak boleh memandang perbedaan suku, ras, budaya, dan agama sebagai permasalahan, dan saling merendahkan status antara satu dengan lainnya. Kita wajib menyadarkan sesama kita bahwa tantangan terbesar yang sedang kita hadapi bukanlah etnis, suku,warna kulit ataupun agama. Bukan juga perbedaan pribumi dan non-pribumi. Tapi hal yang terbesar adalah ketidakadilan, kemiskinan, lunturnya nasionalisme membangun bangsa, dan ancaman pihak asing dalam bentuk ekonomi, politik, pertahanan dan multi nasional. Perjuangan kita adalah untuk mewujudkan sistem pemerintah yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Maka dari itu, Isu pribumi dan pribumi timbul di karenakan pendidikan dan wawasan akan kesadaran berbangsa dan bernegara belum masuk dan di hayati penuh sepenuhnya oleh masyarakat kita, sehingga timbul kekuatan kelompok, kelompok sparatis masyarakat dengan orientasi mementingkan kelompoknya atas nama, agama, tuhan dan yang lebih menakutkan atas nama warga negara indnesia
  •  Siapa saja yang dimaksud non pribumi ?
Jawab:
Pribumi dan non pribumi sejatinya adalah suatu identitas diri manusia yang dibawa sejak lahir. Seseorang dikatakan sebagai warga pribumi apabila dilahirkan di suatu tempat atau wilayah atau negara dan menetap di sana. Pribumi ini bersifat autichton (melekat pada suatu tempat). Secara lebih khusus, istilah pribumi ditujukan kepada setiap orang yang yang terlahir dengan orang tua yang juga terlahir di suatu tempat tersebut. Pribumi sendiri memiliki ciri khas, yakni memiliki bumi (tanah atau tempat tinggal yang berstatus hak milik pribadi). Namun dari definisi dan penjabaran tentang pribumi di atas masih menyisakan beberapa pertanyaan.
Seseorang dikatakan pribumi dan non pribumi adalah sekedar dari melihat fisiknya saja. Dan sudah jelas ini bertentangan tentang makna asli yang terkandung dari istilah ‘pribumi’. Jadi, dapat disimpulkan bahwa tidak ada yang dimaksudkan dengan non pribumi.
  •  Kenapa istilah non pribumi yang menonjol hanya pada etnis tionghoa? 
Jawab:
Pada masa orde baru tepatnya  tahun 1965 terjadi pergolakan politik yang maha dasyat di Indonesia, yaitu pergantian orde, dari orde lama ke orde baru. Orde lama yang memberi ruang adanya partai Komunis di Indonesia dan orde baru yang membasmi keberadaan Komunis di Indonesia.
Bersamaan dengan perubahan politik itu rezim Orde Baru melarang segala sesuatu yang berbau Cina. Segala kegiatan keagamaan, kepercayaan, dan adat-istiadat Cina tidak boleh dilakukan lagi. Hal ini dituangkan ke dalam Instruksi Presiden (Inpres) No.14 tahun 1967. Di samping itu, masyarakat keturunan Cina dicurigai masih memiliki ikatan yang kuat dengan tanah leluhurnya dan rasa nasionalisme mereka terhadap Negara Indonesia diragukan. Akibatnya, keluarlah kebijakan yang sangat diskriminatif terhadap masyarakat keturunan Cina baik dalam bidang politik maupun sosial budaya. Di samping Inpres No.14 tahun 1967 tersebut, juga dikeluarkan Surat Edaran No.06/Preskab/6/67 yang memuat tentang perubahan nama. Dalam surat itu disebutkan bahwa masyarakat keturunan Cina harus mengubah nama Cinanya menjadi nama yang berbau Indonesia, misalnya Liem Sioe Liong menjadi Sudono Salim. Selain itu, penggunaan bahasa Cinapun dilarang. Hal ini dituangkan ke dalam Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi Nomor 286/KP/XII/1978. Tidak hanya itu saja, gerak-gerik masyarakat Cinapun diawasi oleh sebuah badan yang bernama Badan Koordinasi Masalah Cina (BKMC) yang menjadi bagian dari Badan Koordinasi Intelijen (Bakin).
Namun, pada Era Reformasi yang digulirkan pada 1998 telah banyak menyebabkan perubahan bagi kehidupan warga Tionghoa di Indonesia. Mereka berupaya memasuki bidang-bidang yang selama 32 tahun tertutup bagi mereka. Kalangan pengusaha Tionghoa kini berusaha menghindari cara-cara kotor dalam berbisnis, walaupun itu tidak mudah karena mereka selalu menjadi sasaran penguasa dan birokrat. Mereka berusaha bermitra dengan pengusaha-pengusaha kecil non-Tionghoa. Walau belum 100% perubahan tersebut terjadi, namun hal ini sudah menunjukkan adanya tren perubahan pandangan pemerintah dan warga pribumi terhadap masyarakat Tionghoa. Bila pada masa Orde Baru aksara, budaya, ataupun atraksi Tionghoa dilarang dipertontonkan di depan publik, saat ini telah menjadi pemandangan umum hal tersebut dilakukan. Di Medan, Sumatera Utara, misalnya, adalah hal yang biasa ketika warga Tionghoa menggunakan bahasa Hokkien ataupun memajang aksara Tionghoa di toko atau rumahnya. Selain itu, pada Pemilu 2004 lalu, kandidat presiden dan wakil presiden Megawati-Wahid Hasyim menggunakan aksara Tionghoa dalam selebaran kampanyenya untuk menarik minat warga Tionghoa
  •  Langkah apa yang dapat anda sarankan untuk menghilangkan isu pribumi dan non pribumi di Indonesia?
Jawab:
Indonesia merupakan Negara yang mempunyai berbagai suku,agama dan ras. Tidak hanya satu atau dua, tapi puluhan suku yang terdapat di Indonesia, maka dari itu kita harus berpikir ulang, bagaimana cara membuat seluruh warga Negara Indonesia bersatu padu membangun Negara ini bukan hanya memikirkan perbedaan yang ada,  atau dengan cara mencontoh Amerika yang menggalakkan hak kesetaraan bagi seluruh warga Negara.  Begitu pula Indonesia dengan dengan sifat warga negara Indonesia yang sangat toleran terhadap perbedaan akan menjadi lebih mudah. Dengan begitu, akan hilang isu pribumi dan non pribumi.

sumber:
http://thishasgottabegootlife.blogspot.com/2013/04/pribumi-dan-non-pribumi.html

1 komentar: